minasama no tameni balubuih no batumanda kara iroirono koto wa

etnografi dari desa Belubus yang terletak di bawah
bukit Batu Manda untuk semua
selamat datang

Minggu, 07 Februari 2010

Menelusuri Jejak-Jejak Megalitikum di Ustano Rajo Alam Kampung Gudam Jorong Gudam, nagari Pagaruyung, kecamatan Tanjung Emas Kab. Tanahdatar

Tanggal 26 Juli 2009 kami berangkat dari kota Padang menuju desa Gudam yang berada di kecamatan Tanjung Emas kabupaten Tanahdatar provinsi Sumatera Barat. Kunjungan ini merupakan sebuah misi etnografi sehubungan dengan penelusuran keberlanjutan tradisi megalitikum di Ranah Minang. Penelusuran ini diawali dengan ditemukannya menhir dan benda-benda megalit lainnya di daerah kabupaten Limapuluh Kota dan kabupaten Tanahdatar.
Kunjungan kali ini difokuskan pada Ustano Rajo yang terdapat di Jorong (desa) Gudam, kami mendapat informasi bahwa juru kunci situs ustano Rajo adalah Bapak Malin malelo. Namun ketika kami sampai di lokasi situs, ternyata bapak Malin sedang tidak berada di tempat. Akhirnya kami diantarkan oleh salah seorang penduduk desa Gudam ke rumah orang tua Pak malin yaitu Bapak Mansyur. Sesampai di rumah Pak Mansyur kami disuguhi minum, dan selanjutnya kami mulai mengadakan pembicaraan kecil sehubungan dengan penelusurn kami tentang Ustano Rajo yang terdapat di situs jorong Gudam.
Dari uraian singkat yang disampaikan oleh Pak Mansyur kami mengetahui bahwa Pak Malin Malelo adalah pewaris langsung dari Ustano Rajo Alam, oleh karena itu Pak Malin Malelo juga merupakan orang yang bertanggung jawab atas pemeliharaan Ustano sehingga keberadaan Ustano dapat terjaga dengan baik. Menurut Pak Mansyur, Ustano Rajo Malin mulai dipugar pemerintah melalui dinas Suaka Alam sejak tahun 1975, tahun 1989 melalui SK Dinas Suaka Alam pengelolaan Ustano diserahkan kepada pemerintah Jorong Gudam, pada tahun 1991 pengelolaan Ustano dikembalikan kepada pewaris langsung yaitu kepada Keluarga Malin Malelo, sedangkan malin malelo yang sekarang
Selanjutnya kami menanyakan tentang kata Ustano yang menjadi nama dari situs tersebut, kenapa situs itu disebut sebagai Ustano, sementara yang ada di situs tersebut hanyalah hamparan kuburan. Mendengar pertanyaan yang kami ajukan tersebut Pak Mansyurn langsung tersenyum, beberapa saat kemudian Pak Mansyur menjawab bahwa ada kata Istana dan ada kata Ustano, keduanya memeiliki kesamaan dan perbedaan. Kemudian pak Mansur menjelaskan bahwa Istana adalah tempat tinggal atau rumah Raja dan keluarganya, Istana merupakan tempat tinggal sementara. Sedangkan Ustano adalah rumah atau tempat tinggal abadi bagi raja dan keluarganya. Berdasarkan uraian pak Mansyur akhirnya kami mengetahui bahwa yang dimaksud dengan Ustano adalah komplek pemakaman Raja dan keluarga Raja.
Lebih jauh ketika kami menanyakan siapa raja yang dimakamkan di komplek Ustano tersebut, maka pak Mansyur menjelaskan bahwa Raja yang berkubur di komplek Ustano jorong Gudam tersebut adalah Rajo Alam.
Rajo Pertama di Minangkabau
Menurut Pak Mansyur, Rajo Alam adalah raja pertama yang ada di Minangkabau, sang raja bernama Dang Tuanku, beliau diberi gelar raja alam karena beliau merupakan raja yang menguasai alam. Karena menurut Pak Mansyur masih ada dua orang raja lagi didaerah tersebut yaitu Raja Ibadat yaitu raja yang menguasai persoalan Ibadat atau agama, dan Raja Adat adalah raja yang menguasai bidang Adat.
Ketika pembicaraan ini sudah mulai menarik, kami kemudian mengajak Pak Mansyur mengunjungi situs yang berjarak kira-kira 100 meter rumah kediamannya. Pembicaraan kami lanjutkan di dalam komplek situs kami duduk diantara makam yang terdapat di dalam situs tersebut. Sambil melihat ke sekitar komplek pak Mansur berkata bahwa inilah makam Raja Alam dan segenap keluarga raja. Namun demikian kata Pak Mansyur, ada dua makam yang bukan merupakan makam keluarga raja alam, Pak Mansyur berdiri dan berjalan menuju ke makam yang dimaksud. Pak mansyur menunjuk ke sebuah batu nisan makam tersebut, dan mengatakan bahwa makam tersebut adalam makam seorang perempuan bernama Noni, ia adalah anak seorang pejabat Belanda yang meninggal saat Belanda berkuasa di tanahdatar. Pada batu nisan tersebut kami melihat tulisan yang menyatakan tahun kematian sang Noni yaitu tahun 1905. Ketika kami sedang bercengkerama seperti itu tiba-tiba datang seseorang menghampiri kami, melihat orang dating tersebut kemudian Pak mansyur langsung memperkenalkan orang tersebut kepada kami, ternyata orang tersebut adalah Pak Malin Malelo, orang yang pada awalnya merupakan target wawancara kami. Setelah berbasa basi sejenak pembicaraan kami lanjutkan, pak mansyur mengatakan bahwa kami dapat langsung melanjutkan pembicaraan dengan Pak malin Malelo.
Selanjutnya secara otomatis Pak Malin melanjutkan apa yang telah diuraikan oleh Pak Mansyur, dia mengatakan sambil menunjuk salah satu makam yang terdapat di sudut sebelah barat kompleks makam, disana terdapat sebuah makam dengan batu nisan bewarna merah. Menurut Pak malin, makam itu baru dibuat, dan dibangun oleh seorang warga Malaysia. Ketika kami menanyakan keberadaan makam tersebut apakah dulu memang ada makam orang Malaysia di dalam kompleks tersebut yang kemudian rusak atau tertimbun dan sebagainya, maka kemudian dibangun kembali oleh keluarganya atau apa yang sesungguhnya terjadi terhadap makam tersebut. Maka secara langsung Pak Malin menjawab, bahwa ia telah tinggal di jorong Gudam ini selama hidupnya sampai sekarang dan menjadi pewaris sah dari Ustano Rajo Alam jorong Gudam, namun Pak Malin tidak mengetahui dan membantah keberadaan makam orang Malaysia tersebut.

Senin, 25 Januari 2010

Belubus

Belubus adalah nama sebuah jorong (desa) yang berada dalam kenagarian Sei. Talang, kecamatan Guguk, kabupaten Limapuluh Kota provinsi Sumatera Barat. Jorong Belubus terletak di sebeah Barat kota Payakumbuh (ibu kota kabupaten), dengan jarak lebih kurang 12 Km dari pusat kota.
Jorong Belubus dipagar oleh hamparan bukit barisan yang disebut dengan bukit Parasi, menurut mite yang berkembang Parasi berarti para rasi, jadi bukit Parasi berarti bukit tempat bersemayam atau tempat tinggal para rasi. menurut masyarakat para rasi tersebut adalah orang-orang bertuah yang memiliki kekuatan gaib. Orang bertuah itu bernama Datuak Syoih. Beliau dapat berpindah-pindah tempat dari Bukit Parasi ke Gunung Sago danke Gunung Bungsu. Datuak Syoih bermukim di Bukit Batu Manda (salah satu nama bukit yang terdapat di jajaran bukit Parasi), di salah satu puncak bukit ini terdapat sebuah batu berukuran besar yang disebut dengan batu manda, batu manda dikunjungi oleh masyarakat setempat dalam upacara balimau (keramas), yaitu sebuah tradisi sebelum melaksanakan ibadah puasa ( ajaran Islam) pada bulan Ramadhan. Di bawah batu manda terdapat pula sebuah batu besar, pada batu tersebut diyakini terdapat sebuah gambar yang melukiskan Datuak Syoih sedang menunggang seekor kuda.
Selain itu, di sekeliling bukit Batu Manda terdapat pula batu dalam ukuran besar yang memiliki tuah dan dipandang memiliki nilai sakral seperti Batu Bakoca, Batu Biliak, Batu Palano, dan Batu Manggigia. Batu-batu tersebut dipercaya dapat melindungi masyarakat dari segala macam bala. Sehingga batu-batu tersebut masih utuh sampai sekarang. Masyarakat tidak mau mengganggu atau merusakbatu-batu tersebut, mereka mempercayai jika batu-batu tersebut dapat memberikan spirit terhadap kelangsungan hidup.

Jumat, 18 Desember 2009

Nenek Moyangku Seorang Pematung


Oleh : Syafwandi










Sebuah menhir yang terletak di situs Belubus,
Kenagarian Sei. Talang Kecamatan Guguk
kabupaten 50 Kota

Di daerah kabupaten Limapuluh Kota provinsi Sumatera Barat ditemukan monumen-monumen yang terbuat dari batu, yang sekarang bertebaran di berbagai tempat dalam daerah tersebut. Menurut masyarakat 50 kota, atau tepatnya di Kecamatan Guguk, monumen tersebut telah ada sejak saisuak yaitu sejak masa nenek moyang mereka dahulu kala. Masyarakat menyebut monumen tersebut dengan sebutan batu mejen, yaitu batu tanda kubur, sehingga kemudian masyarakat menempatkan pandam pakuburan kaum bersebelahan dengan situs batu mejen tersebut. Jika kita tinjau lebih jauh tentang keberadaan batu mejen dengan merujuk kepada hasil penelitian para ahli arkelogi, ternyata monumen-monumen batu atau yang disebut masyarakat sebagai batu mejen tersebut adalah peninggalan dari zaman Megalitikum, yang diperkirakan oleh para arkeolog telah ada sejak 1500 SM, atau kalau kita ukur dari sekarang maka batu-batu itu telah berumur lebih kurang 3500 tahun. Semua benda-benda peninggalan zaman megalitikum tersebut dalam ilmu arkeologi disebut dengan megalit, sedangkan batu mejen atau batu tanda kubur dinamakan menhir.
Terdapat beberapa hal yang kiranya perlu mendapat perhatian kita bersama, karena apapun adanya peninggalan zaman megalitikum tersebut, ternyata megalit itu sekarang berada dalam kawasan Minangkabau. Beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah Pertama, bahwa menhir sengaja dibuat oleh nenek moyang dengan pola-pola tertentu, sehingga kita bisa membandingkan antara menhir yang satu dengan menhir lainnya, dan ternyata bahwa menhir-menhir tersebut memiliki kesamaan pola atau struktur. Kedua, menhir yang diyakini sebagai tanda kubur tersebut semuanya didirikan dengan menghadap ke satu arah yang sama. Menhir di Kec. Guguk menghadap ke arah Gunung Sago. Ketiga, sebahagian menhir yang terdapat di kecamatan Guguk memiliki motif hias yang dipahatkan pada sisi-sisi menhir. Jika kita amati motif hias yang terdapat pada menhir maka dapat dikatakan bahwa motif hias tersebut merupakan sebuah simbol yang sengaja dibuat dengan tujuan tertentu.
Walaupun menhir adalah sebuah batu untuk tanda kubur, namun dari sisi lain kita dapat memandang menhir sebagai sebuah karya seni, hal ini sangat dimungkinkan karena dari bentuk, arah, dan motif hias yang terdapat pada menhir jelas terlihat ungkapan simbolis yang sarat dengan muatan nilai estetis yang erat hubungannya dengan kondisi sosial budaya pada masa itu. Berdasarkan hasil sebuah penelitian, motif hias yang terdapat pada menhir di kecamatan Guguk memiliki hubungan yang erat dengan motif hias tradisional Minangkabau. Motif hias tersebut antara lain kaluak paku, bungo panco mato ari, sitampuak manggih, ula gerang dan motif hias pucuak rabuang. Dalam tradisi adat Minangkabau, setiap ragam hias memiliki makna-makna tertentu yang berhubungan dengan filosofi adat, dalam sebuah pepatah Minang dibunyikan;
Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak kaniru. Satitiak jadikan lauik, sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadikan guru
(penakik pisau siraut, ambil galah batang lintabung, salodang ambil ke niru, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terbentang jadikan guru)
Oleh karena itu diyakini pula bahwa nenek moyang bangsa Minang berasal dari nenek moyang yang telah hidup di zaman megalitikum, hal ini sedikitnya dibuktikan oleh karya motif hias manusia zaman megalitikum yang terus berlanjut menjadi motif hias tradisi masyarakat adat Minangkabau. Motif hias tradisi Minangkabau sebagaimana tertera di atas masih digunakan sampai sekarang, hal ini dapat kita amati pada beberapa motif hias yang terdapat pada Rumah Gadang (rumah adat) Minangkabau. Bahkan kemudian dikatakan bahwa semua ragam hias Minangkabau bersumber dari ragam hias yang terdapat di Rumah Gadang.
Selanjutnya jika kita amati pula bentuk menhir dari sisi berkesenian umumnya, maka menhir dapat dikategorikan ke dalam karya seni trimatra atau karya seni tiga dimensi, atau dengan kata lain menhir dapat kita sebut sebagai sebuah karya seni patung. Hal ini sangat dimungkinkan karena pada dasarnya konsep seni patung adalah tautan antara ruang positif dan ruang negatif menjadi sebuah bentuk nyata yang dapat diraba, dirasa dan dinikmati melalui makna-makna estetis yang ada dibalik karya tersebut. Begitu pula dengan menhir yang diciptakan oleh masyarakat zaman megalitikum, karya tersebut adalah karya tiga dimensi, bahkan kemudian, karena menhir yang mereka buat bukanlah sekedar karya seni belaka, akan tetapi berhubungan dengan sistem kepercayaan yang di anut pada waktu itu, sehingga dalam penataannya kemudian menhir diletakkan menghadap kesatu arah tertentu, menhir yang terdapat di Kabupaten 50 Kota menghadap ke arah Gunung Sago. Hal ini diyakini berhubungan dengan kepercayaan animisme yang dianut pada masa itu.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita serap antara lain; Bahwa ragam hias tradisional Minangkabau berasal dari tradisi motif hias menhir yang diciptakan oleh masyarakat zaman megalitikum. Selain sebagai tanda kubur atau mejan, menhir juga dapat kita pandang sebagai sebuah karya seni patung yang sarat dengan makna yang berhubungan dengan fenomena kehidupan masyarakat zaman megalitikum. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa tradisi seni patung di Minangkabau telah ada sejak dahulu kala yaitu sejak zaman Megalitikum.